SERING kali apabila saya naik kendaraan umum, terutama bus kota di Jakarta, tatkala mau turun dari bus, bus tidak sungguh stop. Kenek pun menyuruh penumpang menggunakan kaki kiri dulu untuk meloncat turun dari bus sambil memegang salah satu tangan atau anggota tubuh lain, kadang pinggang atau bahu, untuk "melindungi" atau "menolong" perempuan.
Pernah saya cermati, ternyata yang ditolong tidak semua perempuan, melainkan yang dianggap menarik, artinya masih muda. Yang nenek-nenek yang membutuhkan bantuan malah tidak ditolong, kecuali apabila minta tolong. Jadi, jika saya bersama anak yang masih berusia batita, maka mestilah minta tolong agar dibantu untuk menurunkan dan menaikkan anak batita itu.
Sudah beberapa kali protes saya lontarkan untuk tidak perlu dibantu untuk turun dan naik bus. Argumentasi dari para kenek adalah menolong perempuan agar tidak jatuh. Tentu saja penumpang akan jatuh apabila bus tidak sungguh-sungguh berhenti, masih setengah dan cepat-cepat mau ngebut lagi.
Apabila duduk di sebelah sopir persis, karena dekat dengan urusan mengganti persneling, sopir pun entah sengaja atau tidak sengaja punya kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual. Di sini penumpang sulit mengeluh karena sopir punya alasan kuat dia sedang menjalankan tugas menyopir. Jadi, jika kena paha penumpang, itu tidak disengaja.
Setelah di dalam bus pun, di antara para penumpang pelecehan seksual banyak terjadi. Terutama ketika bus penuh sesak. Para peleceh, kebanyakan laki-laki, akan menggunakan banyak cara, mulai dari mengimpitkan tubuhnya ke tubuh perempuan lain, memegang tangan, mencolek pinggang/ panggul, dan menyentuh bahkan meremas payudara. Di Jepang, dengan telepon seluler berkamera, peleceh memfoto celana dalam perempuan.
DOMINASI laki-laki di kendaraan umum juga tampak dalam cara duduk. Umumnya laki-laki duduk dengan membuka lebar-lebar pahanya sehingga ruang yang dipakai menjadi lebih banyak. Artinya, penumpang di sebelahnya mendapatkan tempat sempit. Cara duduk ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap penumpang lain. Jika diminta untuk mengubah cara duduknya, pengalaman saya menunjukkan bahwa mereka tidak suka ditegur. Seolah-olah kendaraan publik menjadi miliknya seorang.
Tentu saja ada yang paling parah, yaitu serangan seksual dan pemerkosaan. Terutama apabila perempuan pergi sendiri dan malam hari. Sudah banyak kisah nyata perempuan pulang kerja malam hari atau dini hari dan di kendaraan ditodong lalu diperkosa.
Arti dari semua ini adalah perempuan mengalami ketidakamanan dan ketidakadilan di kendaraan umum. Mayoritas pengguna jasa kendaraan umum adalah perempuan kelas menengah ke bawah, para perempuan miskin. Ketidakamanan jelas tampak dalam pelecehan seksual, serangan seksual, dan bahkan pemerkosaan. Sedangkan ketidakadilan tercermin dalam soal dominasi dari cara duduk laki-laki yang seenaknya membuka lebar-lebar kakinya dan tidak tersedianya pera
ngkat hukum yang bisa menjerat dan membuat kapok para laki-laki yang melakukan pelecehan seksual.Di Jepang, sekarang para remaja putri SMA berani terhadap para laki-laki
ngkat hukum yang bisa menjerat dan membuat kapok para laki-laki yang melakukan pelecehan seksual.Di Jepang, sekarang para remaja putri SMA berani terhadap para laki-laki
yang mereka rasa melakukan pelecehan seksual. Mereka menarik dasi pelaku dan membawanya ke polisi. Kaum laki-laki takut sekali apabila berurusan dengan aparat penegak hukum karena karier bisa tamat. Dampaknya, perempuan aman menggunakan transportasi umum.
Di Sri Lanka yang sudah dan sedang dipimpin perempuan, untuk membuat perempuan aman di kendaraan umum, pemerintah menyediakan bus khusus perempuan. Namun, jumlahnya tidak memadai dan akibatnya waktu untuk menunggu terlalu lama. Para penumpang perempuan pun naik bus umum biasa. Di sini mereka pun diejek karena menumpangi bus yang dianggap bukan untuk perempuan dan tentu saja menjadi korban pelecehan seksual lagi.
BAGAIMANA di Indonesia? Dengan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, terpikirkah dan tergerakkah Ibu Presiden membuat aman para perempuan di kendaraan umum? Tentu bukan dengan melarang mereka keluar malam hari atau memakai pakaian minim. Sebagai manusia, perempuan berhak melakukan mobilisasi dan mengekspresikan diri dengan bebas. Cara berpakaian sangat bergantung pada konteks budaya, waktu, suasana, tempat, dan zaman. Dalam konteks ini, peleceh dan pelaku yang harus dihukum, bukannya menghukum korban. Kita membutuhkan peraturan antipelecehan seksual di tempat publik.
Lalu bagaimana dengan Dinas Perhubungan dan para pemilik bus beserta para sopir dan kernet? Tampaknya mereka perlu mendapat pencerahan tentang antipelecehan seksual. Bagaimana berlaku sopan terhadap penumpang. Perlu juga secara internal memberlakukan tindak disiplin terhadap sopir atau kernet yang melecehkan perempuan. Artinya, ada sistem pengaduan penumpang terhadap perlakuan sopir dan kernet yang merugikan, bukan melulu soal jadwal. Sebaliknya, sopir dan kernet yang membela penumpang perempuan yang dilecehkan disediakan hadiah. Memang masih sulit menanamkan kesadaran individu yang sejati, dalam arti tidak diberi hadiah pun mau bertindak, mau membela.
Para penumpang laki-laki mulailah bersikap menghormati diri sendiri dan orang lain. Tentu saja dengan tidak melakukan pelecehan seksual. Lalu, apabila ada peleceh, beranilah menegur dan melawannya. Para penumpang perempuan janganlah berdiam diri jika dilecehkan. Kita harus memprotes, mengatakan tidak. Apabila kita diam saja, dianggap kita setuju.
Jika semua pengguna jasa kendaraan umum menolak pelecehan seksual dan ada perangkat hukum yang efektif ditunjang oleh budaya organisasi Departemen Perhubungan dan perusahaan bus yang antipelecehan seksual, maka penumpang perempuan mudah- mudahan akan merasa aman naik kendaraan umum. Semoga!
Sumber